Kemajuan teknologi Era digital yang menguasai jagat raya saat ini telah menggiring arah skena music reggae untuk lebih condong ke dancehall, dub dan praktik sound system ketimbang format full band. Hal ini telah memupuk laju tumbuh kembangnya. Mereka yang dulunya singer, musisi band dan bahkan groupies beralih menjadi emcee (MC) dan deejay. Bermodalkan banyak referensi mereka bereksperimentasi hingga menjadi fasih. Sebuah bentuk pencarian dan penemuan identitas baru yang dirasakan paling bisa merepresentasikan dan mengartikulasikan diri mereka.
Fenomena ini pertanda baik, namun perlu dijajaki dengan bijak dengan saling menaruh respect satu sama lain, terutama pada para pelopornya. Inilah yang kira-kira menjadi highlight dari ‘Dancehal Dinamit’, single terbaru Ras Muhamad yang dirilis belum lama ini. Menggandeng compatriot lamanya, Wisnu ‘W-I-Z’ Prastowo (produser music), Ras Muhamad mengingatkan para scenester reggae terutama pelaku music dancehall tanah air akan sumbangsih mereka berdua sebagai forerunner genre ini: ‘Ku ini bos, ku ini raja. Aku dan W-I-Z itu Dancehall perdana… Apa kau ingat aku dancehall pertama?.’
Apakah dengan kebesarannya seorang Ras Muhamad masih membutuhkan validasi akan eksistensinya? dengan menyimak pernyataannya dalam lagu ini yang memang bernada boasting atau songong. Memang secara de facto pada pertengahan tahun 2000an Ras Muhamad adalah satu-satunya di Indonesia yang mengusung warna dancehall dan sudah tampil dengan sound system: ‘2006 udah sound system. Aku manggung sana-sini dengan gaya bashment.’ Menurutnya ia hanya mengingatkan dan tidak mencari validasi dan menjelaskan bahwa reggae is King’s music, siapapun yang memainkannya adalah raja. Kata Bos menjelaskan perjalanan music independen sejak awal hingga kini memiliki label rekaman sendiri Bernama Black Coral Music di mana Ia menjadi bos bagi diri sendiri dan bebas berkarya tanpa terdikte oleh siapapun.
Minimnya referensi pada saat itu membuat apa yang dilakukan Ras Muhamad dianggap jauh dari kultur reggae yang umumnya dikenal, di mana ia tampil dengan gaya bashment, lebih memilih toasting ketimbang singing dan tampil dengan deejay dan sound system ketimbang full band crew. Hal ini membuat ia mendapat penolakkan di skena music reggae namun dirangkul oleh hip-hop dan Rap. Untuk menghadapinya ketimbang berkonfrontasi, Ras Muhamad justru banyak melakukan kolaborasi yang menjadi sarana mediasi, diseminasi dan edukasi memperkenalkan dancehall kepada Masyarakat seperti yang ia lakukan Bersama para Musisi reggae seperti Tony Q, Steven Coconut Treez, Emilio Gangstarasta, Conrad Good Vibration dan masih banyak lagi.
Kini keadaan sudah jauh berbeda, dancehall dan kultur sound system boleh dikata telah menjadi gaya bermusic reggae yang sangat menarik perhatian dan cukup digemari. Secara khusus style dancehall ala Ras Muhamad sudah sangat diterima dan menginspirasi lahirnya para emcee baru di lantai dansa yang bertoasting ria menggunakan Bahasa ibu dengan aksen Jamaika. Signature ini menjadi patron dan edukasi yang cukup berhasil di mana secara implisit ingin mengatakan bahwa kita boleh meniru gaya Jamaica namun tetap mengingat dan lekat pada budaya dan jati diri sendiri seperti yang kasat lewat lirik: ‘ku pakai Bahasa ibu dan Jamaican aksen…ibuku Semarang, Ayah dari Banten, muka kadang disangka campuran orang asing, ku lebih memilih pare dan ikan asin.”
Ketika ditanya bagaimana tanggapannya mengenai mereka yang memilih menggunakan patois (patwa) dengan tawa tipis Ras Muhamad menjawab bahwa itu tak mengapa selama bisa memastikan bahwa yang dilafalkan itu sudah benar. Namun ia menyarankan untuk menggunakan Bahasa sendiri yang bisa diselingi dengan code switching karena memang dalam kultur reggae ada beberapa istilah yang sudah pakem dari sananya. Intensitas repetisi dan apropriasi gaya Jamaika memang baiknya menghasilkan difference (perbedaan) dan singularitas tersendiri agar tak jatuh dalam fetisisme yang sekedar imitasi dan mengulang-ulang apa yang sudah ada.
Di lain sisi, pada beberapa baris lirik menunjukkan wajah erotis dancehall seperti: ‘ku kagum Perempuan berbody coca cola… untuk para gyalist tetap slam slam slam…nona ku suka dengan goyangmu, coba freeze frame lalu kamu slo-mo, Back up and go low bagaikan Shen Yeng, terbius dengan sleng teng teng.’ Memang sisi kontroversi dari dancehall adalah persoalan agresivitas budaya kekerasan di ghetto, ‘slackness’ atau seksisme lewat lirik yang mengumbar bagian tubuh perempuan dan kegagahan laki-laki. Menanggapi hal ini Ras Muhamad menjawab bahwa ia sadar akan hal itu dan bersikap hati-hati dengan tetap menaruh respect dan memahaminya sebagai bagian dari kultur dan ekspresi ghetto people di Jamaica yang akan sulit dipahami oleh mereka di luar itu termasuk di Indonesia. Secara pribadi Ras Muhamad lebih condong menyukai gaya atau spirit dancehall era 90an yang lebih kuat dengan tradisi Rasta (roots and culture) seperti Buju Banton, Capleton, dan Sizzla di mana ia mengaku banyak terinspirasi dari mereka. Ras Muhamad juga menolak untuk disebut raggamuffin : ‘Aku ini dancehall, jangan kau panggil ku ragga.’ Menurutnya ragga merupakan fast phase musik yang dekat dengan jungle atau drum and bass yang muncul di Inggris. Dan bila menilik ke akar sejarahnya, ragga juga mengacu pada para pemuda ghetto (rude bways) di Jamaika yang lekat dengan budaya kekerasan dan itulah alasannya Ras Muhamad menolak disebut ragga. Ia adalah dancehall perdana, sang Satryo yang terus berkarya tanpa titik tanpa koma! Respect King, Fiya!
(Yedi)
source