Planetariasme untuk Pergerakan Kaum Muda Masa Kini

Oleh  Cicilia Damayanti, Pengajar dan Konsultan Pendidikan

Pendahuluan

Dunia menuju normal setelah dihantam pandemi covid-19 melahirkan era yang semakin penuh dengan ketidakpastian. Sebelum pandemi merebak, VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) hadir sebagai era yang penuh dengan gejolak, ketidakpastian, sangat komplek, dan ambigu. Perubahan ditengarai sebagai hal yang konstan, tidak dapat dihindari, dan pasti. Pandemi Covid-19 semakin menambah keruwetan yang sulit terurai, dan memunculkan era BANI (Brittle, Anxious, Non-Linear, Incomprehensible). Era Bani, yang dikenal sebagai era yang rapuh, penuh kecemasan, permasalahan yang semakin tidak berkaitan, dan sulit dipahami, seolah menjadi jalan buntu karena kekacauan dunia semakin tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir.

Saat ini dunia sedang memasuki era antroposen atau yang dikenal sebagai era manusia. Pada masa ini manusia adalah subjek yang superior. Terutama karena manusia dianggap sebagai penyebab terjadinya segala perubahan di bumi. Homo sapiens yang berkuasa atas bumi dan segala isinya. Era Antroposen (Anthropocene) merupakan satuan waktu geologis yang digunakan untuk menggambarkan periode terbaru dalam sejarah bumi, ketika aktivitas manusia mulai memberi dampak pada iklim dan ekosistem bumi. Kata antroposen berasal dari bahasa Yunani antropo yang berarti “manusia”, dan cene yang berarti “baru”. Antroposen diciptakan dan dipopulerkan oleh ahli biologi Eugene Stormer dan ahli kimia Paul J. Crutzen pada tahun 2000 (Dürbeck & Hüpkes:2022).

Perubahan yang semakin tidak pasti menimbulkan kekhawatiran dalam hidup manusia. Generasi muda saat ini, khususnya Gen-Z (generasi yang terlahir antara tahun 1995-2010), menghadapi persaingan yang semakin ketat. Terutama ketika berhadapan dengan generasi milenial (generasi yang terlahir antara tahun 1980-1996) yang masih dalam usia produktif. Apa yang dapat dilakukan oleh para-Gen-Z di tengah dunia yang semakin ruwet dan tidak pasti ini?

 RAAT (Resilience, Attention, Adaptation, and Transparency) untuk Dunia yang Tidak Pasti

Perubahan menyebabkan dunia dalam keadaan yang tidak pasti. Kekuasaan manusia justru membuat planet bumi berada di ambang kehancuran. Era antroposen mengakibatkan manusia, sang penguasa, mampu mengubah tatanan dunia. Jamais Cascio (2020), seorang antropolog dari Amerika, menyatakan bahwa era VUCA sudah lewat. Pandemi covid-19 menyebabkan dunia berada di ambang ketidakpastian yang membuat manusia harus siap dalam menghadapi perubahan yang abadi.

Situasi pada era BANI menyebabkan perubahan terjadi kian cepat dan tidak dapat diprediksi. Manusia semakin cemas karena situasi yang semakin tidak terhubung menyebabkan mereka kesulitan dalam mencari solusi yang tepat. Hal ini berimbas terhadap generasi muda. Mereka semakin dituntut untuk memiliki kemampuan dasar seperti kemampuan untuk bertahan (resilience) dalam keadaan yang tidak dapat diprediksi. Memiliki perhatian (attention) yang cermat dalam melihat peluang. Mampu beradaptasi (adaptation) terhadap perubahan yang konstan. Siap terbuka (transparency) terhadap wawasan yang baru. Kemampuan dasar yang disingkat RAAT ini bila dikembangkan dalam pendidikan dapat membantu kaum muda untuk menemukan arah dalam menghadapi ketidakpastian hidup.

Efek pasca-pandemi Covid-19 dan perkembangan teknologi yang kian pesat mulai menjadi ancaman baru bagi keselamatan hidup manusia di era antroposen. Manusia diyakini sebagai penyebab bumi menjadi semakin tidak aman untuk ditinggali. Ketamakan manusia menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial yang tajam, di mana segelintir orang kaya menguasai bumi dengan cara mengontrol sumber air, pangan, dan energi. Pertambahan penduduk yang kian pesat menyebabkan permintaan produksi pangan meningkat sekitar 70%, sementara lahan semakin sempit (Bongers:2022). Kekurangan lahan pertanian yang tidak seimbang dengan kecepatan laju pertumbuhan penduduk ini disinyalir dapat melahirkan bencana kelaparan.

Sifat egois manusia yang ingin menguasai bumi kini mulai diikuti dengan ingin menguasai manusia lainnya, yang menyebabkan terjadi peperangan di beberapa tempat. Bila peperangan ini tidak segera dihentikan, kita sedang memasuki era kepunahan massal akibat ulah manusia sendiri. Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini? Hal yang perlu segera diubah adalah pola pikir kita untuk kembali peduli pada alam. Saat ini Manusia dituntut untuk kembali menjalani hidup yang selaras dengan alam dan lingkungan sekitar.

 Konsep Planetarianisme untuk Menjaga Bumi

Planetarianisme dapat dipahami sebagai komitmen filosofis biosentris – pandangan yang menempatkan alam sebagai entitas subjek yang memiliki nilai – untuk mempertahankan kehidupan di planet bumi. Konsep planetarianisme menjadi kontra narasi bagi situasi distopia. Konsep ini juga menjadi wacana antroposentris dari antroposen yang melegalkan ekosida (pembunuhan dan pemusnahan terhadap tempat tinggal makhluk hidup), sebagai keberhasilan dari peradaban manusia. Planetarianisme, pada level lain, dapat diterapkan untuk mengartikulasikan harapan melalui narasi. Sebentuk harapan yang membuat kita mampu berdiri tegak untuk mengatasi tantangan.

Narasi menjadi titik terang dan solusi untuk membangun pandangan positif yang berpotensi untuk menggerakkan banyak orang dalam melakukan perubahan. Konsep planetarianisme merupakan formula yang tepat untuk membantu kita melepaskan diri dari kecenderungan untuk merusak alam. Narasi yang dibentuk dalam konsep planetarianisme menggambarkan kondisi planet sebagai tempat tinggal bersama, di mana semua orang bekerja sama dalam menjaga kelestarian dan keharmonisan hidup di planet bumi (Paulsen et al.:2022).

Kaum muda perlu diajak untuk melakukan perubahan bagi kelangsungan planet bumi. Selain pengetahuan faktual, keyakinan akan perubahan hidup yang lebih baik adalah suatu harapan yang terbentuk dari imajinasi antisipatif untuk melihat sesuatu yang melampaui cakrawala mengenai hal yang mungkin diinginkan dan diperlukan. Harapan ini dibangun dan dikembangkan melalui seni narasi untuk membantu kaum muda mengembangkan empati dalam menjaga planet bumi (Nussbaum, 2016).

Narasi dalam konsep planetarianisme membantu kaum muda untuk menghadapi situasi distopia (suatu keadaan yang buruk). Distopia merupakan fenomena yang telah mengkristal menjadi struktur perasaan populer. Fenomena ini membenamkan orang dalam kesenangan nihilisme dan menopang pesimisme anti-utopia (suatu keadaan sempurna yang diharapkan). Kehidupan distopia banyak diceritakan dalam film fiksi seperti The Hunger GamesDivergent, dan The Maze Runner. Kemudian ada permainan The Cusanus Game yang terinspirasi dari novel yang ditulis oleh Nicolaus Cusanus. Permainan ini menunjukkan bahwa bumi bagaikan “sebuah roda di dalam sebuah roda dan sebuah lingkaran dalam sebuah lingkaran” yang tidak ada pusat ataupun batas yang melingkupinya. Bumi dianalogikan bergerak seperti kapal yang berlayar entah kemana.

Banyak kaum muda mulai paham tentang situasi distopia. Mereka mendapatkan informasi ini melalui film, buku, dan permainan tentang distopia. Mereka sadar bahwa sistem kapitalisme tidak dapat dihindari, meskipun juga sangat mengetahui bagaimana sistem itu merusak kehidupan di planet bumi. Bagi mereka, dalam situasi yang kian memprihatinkan ini – di mana mulai banyak terjadi bencana alam, penyebaran penyakit, dan perang – membayangkan harapan untuk masa depan yang lebih baik adalah hal yang naif. Mereka justru lebih percaya dan dapat menerima bahwa planet bumi yang mereka tinggali saat ini sudah sangat rusak dan kacau. Krisis lingkungan hidup ini telah melahirkan krisis bagi harapan hidup yang lebih baik (Bélanger et al.:2023). Sesungguhnya harapan sangat dibutuhkan dalam hidup manusia. Harapan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang lebih baik tidak hanya diperlukan tetapi juga penting untuk mengatasi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan rangkaian krisis lingkungan hidup yang kita hadapi.

Film sebagai Praktik dari Konsep Planetarianisme

Kaum gen-Z membutuhkan metode yang dapat membantu mereka untuk terlibat langsung dalam menjaga planet bumi. Konsep narasi planetarianisme ini dapat dilanjutkan dengan metode pembuatan film pendek, seperti film dokumenter. Proses pembuatan film membantu mereka untuk semakin menggerakkan imajinasi ke dalam aksi nyata. Film menjadi sarana bagi gen-Z untuk mengembangkan konsep planetarianisme dengan cara terjun langsung mengobservasi lingkungan sekitar. Proses pembuatan film juga membantu mengasah pola berpikir kritis mereka dan untuk membangun kerja sama dengan yang lain.

Proses pembuatan film bertujuan membantu kaum muda untuk mengembangkan imajinasi dan membangun kerja sama dalam kelompok. Pembuatan film membantu mereka mengeksplorasi kemampuan afektif dan kognitif, dan untuk menyelaraskan naskah yang akan dipakai dalam film. Kaum muda dapat diajak untuk melatih konsep planetarianisme melalui film dokumenter pendek yang dapat diikutsertakan dalam festival film. Melalui pembuatan film, mereka dapat mempelajari proses produksi yang membutuhkan ketekunan, kesabaran, kerendahhatian, keterbukaan, dan dialog bersama dengan yang lain. Proses pembuatan film adalah sarana untuk mengembangkan pribadi yang kreatif dan lebih peduli pada lingkungan (planetarianisme) dan sesama. Proses ini juga dapat mengembangkan nalar berpikir kritis. Festival film sangat penting untuk memacu kaum muda mengembangkan kreativitas dalam membuat skenario yang baik sehingga menghasilkan karya yang dapat menginspirasi teman-teman yang lain. Peran pendidik di sini tidak hanya mentransfer pengetahuan semata, tetapi juga mengembangkan kemampuan peserta didik dengan membuka jendela dunia kepada mereka, sehingga mereka juga terbuka pada dunia sekitarnya (Krogh et al.:2023).

Proses pembuatan film dapat mengembangkan kerja sama dan dialog terbuka. Proses ini juga membantu mengasah pola berpikir kritis mereka. Pada saat pembuatan skenario, mereka dilatih untuk berdiskusi, menerima perbedaan pendapat, dan mencermati situasi yang sedang terjadi di sekitarnya. Keseluruhan proses pembuatan film dikoordinasikan dalam kelompok. Peserta didik dapat mengatur peran bersama teman-teman, seperti menentukan sutradara, membuat sinematografi, menentukan para pemain, mengedit, dan yang lainnya. Proses produksi ini sekaligus mempersiapkan kaum muda untuk bekerja secara profesional, sebab keseluruhan proses pembuatan film ini dikerjakan oleh mereka. (Curren, Randall R.:2023). Beberapa ide yang dapat dijadikan tema dalam film antara lain:

  1. Tema ini dapat membantu mereka untuk mengetahui nasib para petani dan untuk mengupayakan ketahanan pangan. Melalui film dokumenter tentang pertanian, mereka dapat mengetahui permasalahan klasik yang sampai saat ini masih dialami para petani, seperti harga bibit yang mahal, hingga stigma negatif bahwa menjadi petani tidak akan bisa menjadi sukses.
  2. Saat ini para nelayan terdampak krisis iklim, terutama karena perubahan iklim sering membuat mereka kesulitan untuk melaut karena semakin tidak dapat memprediksi cuaca. Di samping itu industri ekstraktif di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil telah menurunkan jumlah nelayan karena terdampak proyek reklamasi.
  3. Pemulung sampah. Saat ini para pemulung dianggap sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), padahal pekerjaan mereka termasuk kerja mandiri produktif. Meskipun dianggap warga miskin, tetapi mereka bekerja dan tidak mengemis. Saat ini kaum muda perlu diajak untuk mengamati kehidupan para pemulung, sehingga mereka dapat mengubah paradigma tentang pemulung.

Proyek film dokumenter ini dapat mengembangkan empati karena membayangkan bagaimana rasanya berada dalam posisi orang lain. Proyek ini membantu mereka untuk merefleksikan hidupnya dan hidup para tokoh di film yang mereka kerjakan. Tema sosial yang menyentuh kehidupan sehari-hari dalam film, membantu kaum muda untuk bebas bereksplorasi dalam mengembangkan cerita yang dapat menyebarkan pesan bagi orang lain untuk peduli pada sesama dan planet bumi. Kisah-kisah yang mereka angkat dalam proyek film bertema planetarianisme membantu mereka merefleksikan hidup yang sedang dijalani, bagaimana mereka sebagai kaum muda telah berperan dalam proses pelestarian planet bumi. Proses pembuatan film ini diharapkan mampu mengubah paradigma berpikir mereka, terutama untuk lebih peduli kepada planet bumi sebagai rumah mereka.

 Penutup

Kondisi di era antroposen memaksa manusia untuk menyadari bahwa planet bumi perlu dijaga. Saat ini banyak spesies yang mulai menghilang. Meskipun manusia mengklaim sebagai makhluk tertinggi dalam tangga kehidupan, tidak dapat dipungkiri bahaya kemusnahan tetap mengintai. Pengalaman pandemi Covid-19 kemarin menyadarkan kita bahwa bahaya yang sedang mengintai adalah bila terjadi perang biologis dan bencana kelaparan. Apa yang bisa kita, manusia, lakukan untuk menghindari kehancuran dan atau kemusnahan massal?

Hal yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki semua ini adalah: pertama, melalui sistem pendidikan yang mengembangkan imajinasi untuk melahirkan empati dengan sarana seni, baik narasi maupun film. Revolusi pendidikan dapat dimulai dengan mengubah sistem pembelajaran yang membantu para peserta didik untuk semakin peduli pada keberlanjutan hidup di planet bumi. Konsep planetarianisme membantu mengembangkan imajinasi yang dapat menggerakkan kaum muda untuk bertindak dalam menjaga keberlangsungan planet bumi.

Kedua, mengajak kaum muda melakukan aksi nyata untuk melestarikan kehidupan di planet bumi melalui proyek film dokumenter. Proses pembuatan film dokumenter dapat melatih mereka untuk mengembangkan imajinasi yang melahirkan empati kepada sesama dan lingkungan. Film dapat menjadi sarana kerja sama lintas ilmu dalam pendidikan yang berkelanjutan. Melalui proyek pembuatan film, mereka dilatih untuk bekerja sama dan untuk menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan. Di samping itu proyek ini membantu mereka merefleksikan hidup yang sedang mereka jalani dengan membandingkannya dengan kehidupan para tokoh dalam karya film tersebut.

Konsep planetarianisme melatih mereka untuk mengembangkan nalar kritis, sebab saat ini yang harus diubah terlebih dahulu adalah paradigma berpikir manusia tentang planet bumi. Selama ini manusia adalah subjek yang menguasai bumi. Situasi antroposen menyadarkan manusia bahwa ada batasan dari kemampuan yang dimilikinya. Posisi manusia sebagai subjek saat ini patut dipertanyaan, terutama pada saat bencana terjadi. Tepat di sini posisi manusia sebagai sang penguasa berada di titik nadir karena mulai dapat menyadari kelemahannya. Melalui kelemahan inilah manusia semakin ditantang untuk mengubah pola berpikirnya, bahwa masih ada makhluk lain di alam yang juga memiliki hak hidup yang sama di planet bumi. Kerja sama yang berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk menjaga kelestarian planet bumi, agar keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya tetap terjamin.

———————————————————————-

Daftar Pustaka

Bélanger, M., Potvin, P., Horst, S., Shtulman, A., & Mortimer, E. F. (2023). Multidisciplinary Perspectives on Representational Pluralism in Human Cognition: Tracing Points of Convergence in Psychology, Science Education, and Philosophy of Science. Taylor & Francis.

Bongers, B. (2022). Understanding Interaction: The Relationships Between People, Technology, Culture, and the Environment: Volume 1: Evolution, Technology, Language and Culture. CRC Press.

Curren, Randall R., E. (2023). Handbook of philosophy of education (R. R. Curren (ed.)). Routledge, Taylor & Francis Group. https://doi.org/10.4324/9781003172246

Dürbeck, G., & Hüpkes, P. (2022). Narratives of Scale in the Anthropocene: Imagining Human Responsibility in an Age of Scalar Complexity. Taylor & Francis.

Hartley, J., Ibrus, I., & Ojamaa, M. (2021). On the Digital Semiosphere: Culture, Media and Science for the Anthropocene. New York.

Krogh, E., Qvortrup, A., & Graf, S. T. (2023). Bildung, Knowledge, and Global Challenges in Education: Didaktik and Curriculum in the Anthropocene Era. Taylor & Francis.

Paulsen, M., Jagodzinski, J., & Hawke, S. M. (2022). Pedagogy in the Anthropocene: Re-wilding Education for a New Earth. Springer International Publishing AG.

Leave a Comment