Pemanfaatan Rekayasa Genetika untuk Keberlangsungan Hidup Manusia

Foto: Dari Google

Oleh  Cicilia Damayanti,  Pengajar dan Konsultan Pendidikan

 

Pendahuluan

Pernahkah mendengar nama He Jiankui? He Jiankui adalah seorang peneliti kesehatan dari Cina dan mantan profesor dari Southern University of Science and Technology di Shenzhen. Pada 1 November 2018 dia mengklaim telah berhasil merekayasa genetika bayi untuk pertama kalinya dalam sejarah. Berkat penemuan tersebut dia dipecat dari jabatannya dan harus mendekam di penjara selama 3 tahun. Rekayasa genetika yang dilakukannya dianggap belum dapat dilakukan terhadap manusia. Sebab menurut para ilmuwan metode tersebut masih membutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut sebelum digunakan bagi manusia.

Peristiwa yang terjadi pada He Jiankui membuktikan bahwa terobosan baru dalam dunia kesehatan dan teknologi tidak pernah tanpa konflik. Program bayi tabung pertama, Louise Brown pada tahun 1978, memunculkan perdebatan publik yang sangat tajam. Tapi sekarang, banyak orang yang justru merasa tertolong dengan teknik ini. Terutama bagi mereka yang ingin memiliki keturunan.

Pada tahun 1996 saat kloning hewan pertama kali, domba Dolly, juga memunculkan perdebatan etika di banyak kalangan. Tetapi saat ini sudah mulai diterima bahkan dikembangkan di beberapa area. Kloning hewan transgenerik mulai digunakan untuk penelitian dalam ilmu kesehatan. Bukankah tidak mungkin bila teknologi rekayasa genetika ini akan diterima demi kepentingan dan keselamatan manusia?

Metode Rekayasa Genetika

Rekayasa genetika seperti yang dilakukan He Jiankui merupakan penyisipan, penggantian, atau pembuangan DNA pada genom suatu organisme hidup. Teknologi ini menggunakan enzim-enzim nuclease yang direkayasa untuk memotong dan menyambungnya (Kuntz, 2022). He kemudian mengembangkan mekanisme perbaikan manusia dengan menggunakan teknik editing genetika yakni CRISPR-Cas9 atau gunting genetika.

Teknik Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR) dikembangkan oleh Emmanuelle Charpentier dari Perancis dan Jennifer Doudna dari Amerika Serikat pada tahun 2011 (Ahmad et al., 2022). Mekanisme yang dilakukan CRISPR memungkinkan sel untuk merekam dari waktu ke waktu virus yang terdeteksi olehnya. Teknologi CRISPR membantu para ilmuwan mengubah DNA pada sel-sel sehingga manusia memiliki kesempatan untuk sembuh dari penyakit genetika.

Bagian dari sistem CRISPR adalah protein yang disebut Cas9. Protein Cas9 mampu mencari, memotong, dan menurunkan DNA virus dengan cara tertentu. Aktivitas Cas9 dimanfaatkan untuk merekayasa genetika (Goldstein, 2022). Cara kerjanya adalah menghapus atau menyisipkan bit tertentu dari DNA ke dalam sel dengan ketepatan yang akurat.

Teknologi CRISPR memiliki daya tarik tersendiri karena relatif lebih sederhana. Para ilmuwan bisa mengubah DNA hewan, tumbuhan, maupun organisme mikro dengan presisi yang sangat tepat. Teknik ini mempunyai tingkat akurasi yang tinggi, mudah digunakan, dan relatif tidak mahal. Biasanya digunakan di bidang pertanian untuk mengamankan produksi pangan agar tetap terjaga dengan sistem yang ramah lingkungan.

Yang harus menjadi bahan pertimbangan adalah bahwa teknologi CRISPR dapat digunakan untuk mewujudkan hal-hal yang dulu hanya ada di film fiksi ilmiah (Grunwald, 2021). Teknologi ini dimanfaatkan untuk membuat tubuh manusia menjadi sempurna. CRISPR diklaim dapat menjadi alat untuk “mendesain manusia”. Seperti: tulang lebih kuat, mencegah kebotakan, IQ tinggi, mengantisipasi penyakit genetik, menciptakan warna mata yang berbeda, bahkan bisa menjadikan tubuh lebih tinggi.

Saat ini yang menjadi pertimbangan adalah tentang nasib embrio yang sudah terbentuk. Dengan adanya rekayasa DNA manusia dinilai sudah tidak memiliki otoritas atas hidupnya sendiri. Sejak awal mereka sudah “diciptakan” oleh orang lain. Perdebatan seru yang terjadi adalah tentang status moral embrio. Apakah mereka sudah makhluk hidup atau hanya entitas biokimia natural?

Menghargai Kehidupan demi Keselamatan Manusia

Nasib embiro manusia masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Terutama tentang kesepakatan awal hidup embrio. Tetapi beberapa dekade ini para ilmuwan mulai menunjukkan kesepakatan. Seperti dilansir dari jurnal BMC Medical Ethics (https://doi.org/10.1186/s12910-022-00840-6), mereka meyakini bahwa embrio dalam fase pra-implantasi dapat digunakan untuk kepentingan penelitian kesehatan.

Penelitian ini dipakai untuk menemukan pengobatan terbaru, yakni sel punca, yang dapat meringankan penderitaan banyak orang. Sebagian besar metode yang digunakan untuk mendapatkan sel punca embrionik adalah dengan menghancurkan embrio berumur 3 sampai 5 hari. Kebanyakan sel induk embrionik berasal dari embrio yang berkembang dari telur yang dibuahi secara in vitro. Kemudian disumbangkan dengan persetujuan dari pendonor.

Penelitian yang dilakukan oleh BMC menemukan bahwa pada tahun 2009 50% pasangan di Swiss meyakini bahwa embrio memiliki hak dan martabat yang sama dengan manusia. Tetapi penelitian di tempat lain menunjukkan bagaimana donor embrio mengalami peningkatan. Pasangan pendonor embrio di Australia mencapai 27% dan di Swedia 92%. Bahkan di Cina, Denmark, dan Switzerland sekitar 26-41% pasangan positif mendukung program pendonoran embrio.

Saat diwawancara mereka menyatakan bahwa tindakan ini dilakukan terutama demi kemanusiaan dan mendukung kemajuan di bidang kesehatan. Salah satu contohnya adalah anak-anak penderita kanker. Donor embrio yang mereka lakukan telah membantu para ilmuwan mengembangkan inovasi sel punca untuk memberi kesempatan hidup bagi anak-anak tersebut. Sekarang mereka dapat tersenyum dan bermain lagi bersama teman-teman.

Manusia saat ini berada di persimpangan antara mendukung teknologi atau kehidupan. Teknologi CRISPR-Cas9 masih perlu dikembangkan dan diuji sebelum dapat dipakai untuk manusia. Tetapi hal yang tidak dapat dipungkiri adalah teknologi ini membantu manusia untuk mengatasi persoalan hidup seperti kelaparan dan kesembuhan penyakit termasuk Covid-19. Teknologi ini secara etis dapat diterima jika digunakan untuk menyejahterakan dan melindungi umat manusia. Khususnya mereka yang terpinggirkan.

Penutup

Saat ini yang perlu menjadi perhatian bersama adalah kita hidup bersama dengan yang lain. Di mana solidaritas dibutuhkan untuk membangun rasa persaudaraan dengan sesama. Persaudaraan akan berjalan dengan baik bila berdasarkan pada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara diri sendiri dan orang lain.

Petuah “perlakukan orang lain seperti dirimu ingin diperlakukan”, mengandung pesan bahwa orang lain perlu dihormati martabatnya sebagai manusia. Hal yang dapat kita lakukan adalah menjadikan orang lain sebagai tujuan. Untuk itu perlu terus dikembangkan dialog dan kerja sama agar kualitas kehidupan manusia dapat ditingkatkan. Manusia sebagai arsitek kehidupan (Baconian Homo Faber) bertanggung jawab untuk menghargai otonomi dan otoritas makhluk hidup yang lain.

**************************************************

Leave a Comment