“Mengembalikan Marwah MPR” – Ide Anak Bangsa Merawat Indonesia

 

Indonesia tidak terbuat dari kebanggaan yang sama,
tapi kesamaan nasib anak bangsanya.
Terbangun dari rasa memiliki,
anak bangsa yang berjanji untuk peduli.
Di tanah kita agama dan tradisi saling memberi arti,
membuka peluang saling menghargai.
Indonesia negara hebat,
pelaku demokrasi yang melesat cepat.
Mari menjaga yang kita miliki,
membangun tradisi baru yang bebas korupsi.
Mengawal keras jalannya demokrasi,
mengubah watak kekuasaan agar fokus mengabdi.
Negara akan kuat senantiasa,
saat rakyatnya terdidik untuk berdaya.
Jika sejarah menuju lebih sempurna,
Indonesia yang jaya sudah di depan mata.
         ——–Najwa Shihab———-

 

Perhatian dan cinta anak-anak bangsa terhadap tanah airnya Indonesia, direalisasikan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menyumbangkan gagasan (ide-ide) untuk mengoreksi perjalannan bangsa.  Bertempat di Hotel Marcopolo, Menteng, Jakarta Pusat, Yayasan Caritas Merah Putih mengadakan sebuah seminar dengan topik “Mengembalikan Marwah MPR sebagai Pelaksan Kedaulatan Rakyat” dengan pembicara Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S. H., M.H, Agus Widjajanto, S.H., M.H., Dr. Muhammad Rullyandi, S.H., M.H., yang di Moderatori Praktisi Hukum Hendrikus Hali Atagoran, S.H., M.H.

Tampil sebagai pembicara yang memukau, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, S. H., M.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,  meneropong masalah mendasar yang timbul berkenaan dengan keberadaan, wewenang, dan hubungan kewenangan antara MPR dengan lembaga Negara yang lain dalam kerangka Sistem Ketatanegaraan Indonesia terutama setelah dilakukannya perubahan UUD 1945. Ia juga dengan tajam melihat perbedaan antara MPR yang lama dan MPR yang baru. Beliau mempertanyakan MPR mana yang merepresentasikan kedaulatan rakyat ; apakah MPR lama (sebelum UUD 1945 diamandemen) ataukah MPR sekarang (pasca amandemen UUD 1945)?.

 

MPR Lama (Sebelum UUD 1945 diamandemen)

Menurut bunyi Penjelasan UUD 1945, MPR dikatakan sebagai “Penjelmaan seluruh rakyat” (Vertretungsorgan  des willen des Staatsvolkes), karena seluruh komponen rakyat, – baik partai politik, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan duduk dan terwakili di MPR. Partai politik melalui kader – kadernya yang dipilih lewat pemilu duduk sebagai wakil rakyat di DPR dan oleh karenanya DPR dikatakan sebagai ‘Political representation’ , sedangkan Utusan Daerah dan Utusan Golongan (fungsional), seperti : ormas – ormas keagamaan, kepemudaan, wanita, pengusaha, pendidikan, nelayan, Tani, Buruh, kesehatan, dan lain sebagainya) duduk di MPR, sehingga MPR dikatakan sebagai Functional Representation.

Atas dasar itu, maka susunan keanggotaan MPR terdiri dari : seluruh anggota DPR ditambah dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan (termasuk di dalamnya kelompok minoritas terwakili di MPR). Itulah sebabnya MPR dikatakan sebagai Penjelmaan seluruh rakyat(yang berdaulat) dan oleh karenanya bisa dimengerti rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan :”Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Ketentuan a quo mengandung makna bahwa kedaulatan rakyat (yaitu kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat) itu di representasikan sepenuhnya oleh MPR sebagai satu – satunya lembaga Negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Dalam konteks ini, jangan lagi dipertanyakan bagaimana dengan DPR yang nota bene sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, apakah tidak melaksanakan kedaulatan rakyat ? Dengan duduknya seluruh anggota DPR sebagai anggota MPR, maka dengan sendirinya DPR tersublimasi ke dalam MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Sebagai Penjelmaan seluruh rakyat yang sepenuhnya melaksanakan kedaultan rakyat, maka kepada MPR diberikan kewenangan secara atributif oleh UUD 1945 untuk melaksanakan hal – hal mendasar dalam penyelenggaraan Negara, yaitu :

  1. Menetapkan UUD ;
  2. Menetapkan GBHN ;
  3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden ; dan
  4. Mengubah UUD.
MPR Baru (Pasca UUD 1945 diamandemen)

Pasca amandemen UUD 1945, MPR mengalami perubahan, baik yang    berkenaan dengan susunan keanggotaan maupun terkait dengan kewenangannya. Dilatarbelakangi oleh keinginan membangun Bicameral System dalam sistem perwakilan (dengan mengambil contoh Bicameral system di Amerika Serikat), maka MPR sebagai Badan Perwakilan dalam struktur kelembagaannya terdiri dari 2 (dua) kamar atau lembaga, yaitu DPR dan DPD sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang – undang” . Dalam rumusan ketentuan a quo, yang dijadikan unsur adalah anggota (DPR dan DPD), padahal dalam Bicameral system, yang dijadikan unsur adalah lembaganya, bukan anggotanya. Demikian juga yang berkenaan dengan wewenangnya. Dalam sistem perwakilan dua kamar, wewenang badan perwakilannya dilaksanakan, baik oleh kamar/lembaga yang satu maupun oleh kamar/lembaga yang lain, bukan masing – masing kamar / lembaga memiliki wewenang  tersendiri yang terpisah satu dengan yang lainnya. Hal yang terakhir inilah yang dijumpai dalam sistem perwakilan di Indonesia menurut UUD 1945 pasca perubahan. Dalam hal ini, MPR mempunyai wewenang sendiri, DPR dan DPD pun masing – masing mempunyai wewenang tersendiri, sehingga keinginan membangun sistem perwakilan bicameral, namun yang terjadi adalah sistem perwakilan 3 (tiga) kamar (Three cameral system).

Dalam hubungannya dengan wewenang tersebut, maka pasca amandemen UUD 1945, MPR mengalami pengurangan wewenang secara signifikan. MPR tidak lagi berwenang menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Wewenang MPR sekarang adalah :

  1. Mengubah dan menetapkan UUD ;
  2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden ; dan
  3. Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang – Undang Dasar

Dengan demikian, maka dilihat dari susunan keanggotaannya, MPR sekarang tidak lagi merupakan “Penjelmaan Rakyat”, karena hanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD (sebagai pelembagaan Utusan Daerah). Sementara itu, Utusan Golongan (fungsional), – termasuk kelompok minoritas – tidak lagi terwakili dan duduk sebagai anggota MPR. Demikian pula MPR tidak lagi merepresentasikan dan melaksanakan sepenuhnya, – dalam arti kata sebagai satu – satunya lembaga Negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat, melainkan dilaksanakan juga oleh DPR dan DPD. Itulah sebabnya rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi :”Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”  diubah (setelah amandemen) menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi :”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar”

Sementara itu, dilihat dari sisi wewenang, MPR sekarang memiliki wewenang yang lebih bersifat seremonial, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Dua wewenang lainnya sifatnya temporer atau sewaktu – waktu, yaitu bila MPR berkeinginan unt mengubah UUD dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya.

Mengembalikan Marwah MPR Sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat

Untuk mengembalikan marwah MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mau tidak mau harus dikembalikan pada latar belakang  pemikiran genial founding fathers di dalam melahirkan ataupun  membentuk MPR, yaitu secara filosofis MPR dibentuk sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang dimaksudkan untuk mengakomodir dan menghimpun segenap komponen bangsa dalam suatu wadah atau lembaga  dengan tujuan menetapkan hal – hal mendasar dalam penyelenggaraan Negara. Latar belakang pemikiran filosofis serta maksud dan tujuan founding fathers melahirkan atau membentuk MPR dinormakan ke dalam beberapa ketentuan pasal dalam UUD 1945 (sebelum diamandemen). Hal itu mengandung konsekuensi bahwa harus dilakukan perubahan kembali UUD 1945 secara terbatas, khususnya beberapa ketentuan pasal yang berkenaan dengan kedudukan dan susunan keanggotaan MPR berikut wewenangnya dan hubungannya dengan lembaga negara yang terkait. Dengan kata lain, harus dikembalikan pada ketentuan MPR yang lama (sebelum UUD 1945 diubah), yaitu :

1. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan : “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” ;

Ketentuan a quo menegaskan salah satu pilar bangunan Negara Republik Indonesia   adalah kedaulatan rakyat (vide Alinea IV Pembukaan UUD 1945) yang secara harfiah berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat disebut sebagai negara demokrasi yang secara simbolis sering digambarkan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (from the people, of the people, for the people). Suatu demokrasi yang dilaksanakan sendiri oleh seluruh rakyat lazim disebut demokrasi langsung (direct democracy). Dalam perkembangannya, demokrasi langsung ini makin sulit dilaksanakan, baik karena wilayah negara menjadi makin luas, penduduknya makin banyak maupun karena urusan pemerintahan yang makin kompleks, sehingga tidak mungkin semua orang dapat duduk sebagai penyelenggara negara, maka lahirlah sistem perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Rakyat tidak lagi secara langsung menyelenggarakan pemerintahan, namun diselenggarakan oleh wakil – wakil rakyat yang bukan hanya memerintah atas nama rakyat, tetapi juga untuk rakyat. Artinya, pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai dengan kehendak rakyat. Konstruksi pemikiran itu pula yang melatarbelakangi founding fathers melahirkan atau membentuk MPR sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat karena merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, tempat di mana segenap komponen bangsa duduk dan terhimpun di dalamnya.

2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi :“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota – anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan – utusan dari daerah – daerah dan golongan – golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang – undang”

Ketentuan a quo yang mengatur tentang susunan keanggotaan MPR mencerminkan perpaduan antara political representation (yang diwakili oleh DPR) dan functional representation (yang diwakili oleh Utusan Daerah dan Utusan Golongan), sehingga susunan keanggotaan MPR memperlihatkan wajah MPR sebagai penjelmaan rakyat, sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan :”Maksudnya ialah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam Majelis sehingga Majelis itu akan betul – betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat”.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana dengan keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan pelembagaan Utusan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUD 1945 pasca amandemen. Konsekuensinya, pasal a quo dihapus, DPD dibubarkan, kembali menjadi Utusan Daerah sebagai bagian dari keanggotaan MPR. Kedudukannya sebagai Utusan Daerah jauh lebih strategis dan signifikan ketika ikut ambil bagian di dalam merumuskan GBHN, dari pada kedudukan dan kewenangan yang dimiliki DPD sekarang ini yang nyaris tidak jelas kinerjanya. Demikian pula Utusan Golongan dihidupkan kembali dengan cara dipilih oleh organisasi (profesi) yang menaunginya dan secara administratif diangkat oleh Presiden. Sehingga dengan demikian, segenap Utusan Golongan (organisasi profesi yang ada, termasuk kelompok minoritas) terwakili dan duduk sebagai bagian dari keanggotaan MPR.

3. Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa : Majelis Permusyawaratabn Rakyat menetapkan Undang – Undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara”

MPR sebagai penjelmaan rakyat dan sebagai satu – satunya pelaksana kedaulatan rakyat sangat beralasan diberikan kewenangan atributif oleh UUD 1945 untuk menetapkan hal – hal mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, yaitu : menetapkan UUD sebagai aturan dasar atau hukum dasar tertulis yang tertinggi dalam Negara (supreme law of the land) dan menetapkan GBHN sebagai haluan / jalan negara dalam garis – garis besar yang menjadi blue print dan “Kompas” bagi Presiden (sebagai penyelenggara pemerintahan yang terttinggi) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, termasuk melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan. Berbagai bidang kehidupan yang akan dibangun, maksud, arah, dan tujuannya jelas digariskan dalam GBHN, sehingga mudah bagi Presiden dalam pelaksanaannya secara bertahap dan berkesinambungan dengan skala prioritas yang ditetapkan sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat ataupun perikehidupan rakyat serta tantangan global yang dihadapi.

Ketiadaan atau dihapuskannya wewenang MPR menetapkan GBHN, menyebabkan Negara ini tidak memiliki “Cetak Biru” di dalam membangun Negara sehingga arah dan tujuan Negara pun menjadi tidak jelas sebagai hal yang semakin menjauhkan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk keinginan untuk mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045.

 

Agus Widjajanto, S.H., M.H., juga tampil dengan gagasan yang mengajak kita bercermin pada gagasan-gagasan para Pendiri Bangsa kita dalam membetuk negara.

Menengok kilas balik pada masa Orde Baru memang tidak selalu sempurna, wajar ada kekurangan, seperti  dalam doktrinisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi Fungsi ABRI, yang bukan lagi hanya  sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik, ini yang harus diperbaiki, bukan justru dirombak total hingga menghilangkan soko guru dari tiang penyangga negara  yang diibaratkan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang di bunuh tapi justru lumbungnya yang dibakar, itu yang terjadi pada tahun 2022 menjelang Amandemen pertama.

Bahwa sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yang dulu merupakan contoh manifestasi dari Lembaga  Rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil kepala dusun dan  perangkat pemerintahan desa, disebut Rembuk Desa. Demikian juga MPR yang susunan anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan yang terdiri  dari perwakilan agama seluruh tanah air, ada NU, Muhammadiyah, Dewan Wali Gereja, Dewan Hindu dan Dewan Tertinggi Budha, KNPI, HMI dan wakil dari Organisasi Kemasyarakatan, termasuk  organisasi pemuda dan Wakil Daerah yang mewakili daerah masing-masing yang saat ini adalah anggota DPD terpilih, lalu  ada gubernur selaku wakil administratif dari pusat, bupati, walikota, seperti halnya pada saat Orde Baru berkuasa,  yang merupakan penjelmaan dari suara  seluruh rakyat yang dilaksanakan  melalui sebuah lembaga  perwakilan.

Bahwa pada masa lalu  MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) dengan tujuan agar  apa yang mau dituju bangsa ini, apa yang mau dibangun bangsa ini jelas arah dan tujuanya, baik dalam jangka panjang,  jangka  menengah  dan jangka  pendek, yang lalu pemerintah membuat Repelita, dalam pelaksanaan GBHN tersebut  dalam rencana pembangunan, itulah wujud dari sistem negara Integralistik ala Soepomo dalam  sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara dari Soepomo.

Sedangkan sekarang, kewenangan MPR sudah direduksi dimana kewenangan untuk memilih, presiden dan wakil presiden sudah tidak lagi berlaku, menetapkan GBHN juga sudah dicabut, dengan demikian, tidak ada lagi GBHN dan  pemerintah tidak lagi ada Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas) petunjuk arah tidak ada lagi, dimana masing-masing pemerintah dan daerah dalam Otonomi Daerah bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing-masing , belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana masa lalu sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris presiden dan wakil presiden, yang dirubah menjadi suara rakyat langsung menjadi presiden mandataris rakyat, karena  melalui pemilu langsung , yang kita sama-sama bis akita lihat dan rasakan, dimana seolah kita sudah kehilangan ruh-nya sebagai sebuah bangsa, sudah bermetafora pada bangsa pada sistem liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan sekalipun oleh para Pendiri Bangsa dan itu  telah terjadi saat ini.

Bahwa perlu diingatkan disini antara Dasar Negara yakni Pancasila sebagai sumber dari segala Sumber hukum dengan Konstitusi negara sebagai hukum dasar negara merupakan satu kesatuan tunggal, yang tidak bisa dipisahkan, dimana  Dasar Negara telah mengatur suatu sistem Kerakyatan dengan cara perwakilan yang merupakan manifestasi dari suara rakyat melalui wakil-wakilnya yang diatur melalui sebuah lembaga tertinggi di negara ini yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), hal ini tertuang dalam sila ke-empat (4) dari Pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan” dari bunyi sila ke-empat dari Pancasila di atas  hal ini sinkron  dengan pasal 1 ayat (2) dari UUD 1945 yang lama ( yang masih murni sesuai dekrit presiden 5 juli 1959 yang berbunyi “Kedaulatan adalah Ditangan Rakyat dan Dilakukan Sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”  yang memang sejak awal didesain sebagai hubungan integral yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain.

Sedangkan setelah dilakukan Amandemen, pasal 1 ayat 2 menjadi: “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Ini menjadi bias, sedangkan tata  bahasa yang digunakan dalam Konstitusi harus jelas, singkat padat dan berisi dan itu berlaku pada Konstitusi di seluruh dunia. Jangan sampai terjadi multi tafsir yang berakibat semua warga negara bisa menafsirkan sesuai perspektif sudut pandang masing-masing yang berakibat terjadi ketidak pastian dalam hukum.

Dengan dirombak dan dirubahnya format dari UUD 1945 sebanyak empat kali, maka antara sila ke-4 dari Pancasila bertabrakan (bertentangan) dengan UUD 1945 hasil Amandemen, dalam sebuah rumah tangga saja jikalau hubungan antara suami istri tidak sinkron dan tidak sejalan akan menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga, demikian juga menyangkut sebuah negara tentu akan mengalami benturan dan ketidakstabilan dengan sistem Ketata Negaraan  dikarenakan antara Dasar Negara dengan hukum dasarnya sudah tidak lagi seirama, dengan demikian harus kita akui bahwa para founding father kita ( Bapak Pendiri Bangsa) kita lebih matang dan cerdas serta mempunyai pemikiran yang  progresif yang menjangkau ratusan tahun ke-depan melampau pola pikir di jamannya, dalam menyusun suatu sistem sebuah negara dalam hukum ketatanegaraannya.

Untuk itu mari kita bersama-sama  bergandeng tangan untuk mengembalikan kewenangan dari MPR sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan kita karena secara historis itulah konsep yang terbaik bagi bangsa ini yang telah terbukti secara nyata pada masa lalu hingga melahirkan stabilitas politik dan keamanan serta pertumbuhan ekonomi sebagai Macan Asia yang belum pernah di raih selama era reformasi, dalan kaitan manifestasi  bahwa suara rakyat adalah mandat tertinggi seperti halnya suara Tuhan.

 

Dr. Muhammad Rullyandi, S.H., M.H., sebagai akademisi Hukum Tata Negara juga menggelitik pemikiran kita untuk krits menilai perjalanan Lembaga MPR kita.  Menurut beliau, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dibentuk lembaga-lembaga negara yang mengejawantahkan fungsi permusyawaratan dan perwakilan sebagai bagian dari pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana keberadaan, wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Asli sebelum di amandemen demi mewujudkan tujuan negara yaitu keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pada perkembangannya reformasi menjadi titik pangkal perubahan sistem ketatanegaraan, munculnya berbagai pandangan dan perdebatan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Sidang Umum MPR Oktober 1999 sampai dengan Sidang Tahunan MPR Tahun 2001, terkait dengan pembahasan Kedaulatan Negara, maka setidaknya terdapat 5 (lima) isu yang menjadi pokok perdebatan, yaitu:

Pertama, perlunya memperkuat peran Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Kedua, terkait dengan interpretasi rumusan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, yang memunculkan gagasan untuk memberdayakan masing-masing lembaga tinggi negara, sehingga kedaulatan didistribusikan tidak hanya ke MPR tetapi juga diberikan ke lembaga-lembaga negara yang lain. 1 – Ketiga, perlunya mempertimbangkan seluruh anggota MPR dipilih melalui pemilihan umum, karena jumlah anggota MPR yang diangkat lebih banyak daripada yang dipilih. Keempat, terkait susunan keanggotaan MPR, khususnya keberadaan Utusan Daerah, Utusan Golongan, dan TNI/Polri, dan Kelima, tentang desain kelembagaan MPR, apakah MPR terdiri dari satu kamar, dua kamar atau tiga kamar.

Seiring dengan perjalanan waktu pasca perubahan UUD 1945, diskursus kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi menarik dan urgen untuk diperbincangkan kembali, bukan saja pada aspek eksistensi, peran dan posisinya dalam sistem ketatanegaraan kita, tetapi juga pada aspek desain kelembagaan dan aspek keterwakilan rakyat dalam kelembagaan MPR. Selain itu, perubahan Undang – Undang Dasar 1945 telah bergeser dari semangat dan filosofis yang ingin dibangun dan diletakkan oleh para pendiri negara Indonesia, karena tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebagai lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dan sekaligus pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini menjadi urgen untuk dilakukan peninjauan kembali, mengingat keberadaan MPR pasca perubahan UUD 1945 tidak lagi memiliki kekuasaan untuk menjamin agar keputusan politik kenegaraan yang senantiasa berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum yang lebih mengedepankan pada asas permusyawaratan, tetapi realitasnya justru lebih mengarah pada praktek demokrasi individualistis jauh dari kesan demokrasi permusyawaratan, dimana praktek praktek seperti itu jelas-jelas ditentang oleh sebagian besar para pendiri negara dan secara sadar di era reformasi ini kita telah menerapkan kecenderungan gagasan kearah demokrasi yang jauh dari kesan permusyawaratan pasca perubahan UUD 1945. Secara historis bagaimana desain kelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dilakukan oleh Para Pendiri negara (founding fathers), dapat kita telusuri melalui gagasan dan perdebatan yang muncul dalam persidangan pertama di BPUPK pada tanggal 29 Mei 1945.

Mengembalikan marwah MPR tentu saja bukan mustahil. Sangat bergantung pada elite politik, terutama para pemimpin parpol. Kerangka berpikirnya sudah disediakan oleh para pendiri bangsa. GBHN sangatlah penting dalam perspektif Pancasila sebagai dasar negara. Kebijakan dasar pembangunan seyogyanya tidaklah diserahkan kepada presiden sebagai ekspresi kekuatan mayoritas. Kebijakan dasar itu sebaiknya dirumuskan bersama melalui mekanisme musyawarah seluruh representasi kekuatan politik rakyat dalam suatu lembaga tertinggi dan terlengkap. Agar presiden tidak mengembangkan politik sendiri, selera personal, kepentingan tertentu, tetapi menjalankan prinsip-prinsip yang ditetapkan MPR dalam suatu GBHN. 
(Paskalis Liko Bataona)
 

source