Jakarta, CNBC Indonesia – Harga emas terpantau ditutup melemah pada perdagangan Rabu (29/5/2024), di tengah melonjaknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) kemarin.
Merujuk data Refinitiv, harga emas ditutup di posisi US$ 2.338,76 per troy ons, merosot nyaris 1% atau tepatnya 0,94% pada perdagangan Rabu kemarin. Ini adalah pelemahan pertama dalam empat hari terakhir. Dalam tiga hari sebelumnya, harga emas selalu naik dengan penguatan mencapai 1,4%.
Pada Kamis pagi hari ini (30/4/2024), koreksi harga emas sepertinya akan berlanjut meski masih cenderung tipis. Per pukul 06:00 WIB, harga emas global turun tipis 0,04% ke posisi US$ 2.337,88 per troy ons.
Dolar AS yang kembali perkasa disertai dengan melonjaknya yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) membuat emas berbalik arah ke zona merah kemarin.
Indeks dolar AS (DXY) pada perdagangan Rabu kemarin terpantau menguat 0,49% menjadi 105,12, dari sebelumnya pada Selasa lalu di angka 104,61. Indeks dolar ada di posisi tertinggi sejak 15 Mei 2024.
Sedangkan yield Treasury acuan tenor 10 tahun pada perdagangan kemarin mencapai 4,616%, menjadi yang tertinggi sejak awal 30 April 2024.
Kenaikan imbal hasil US Treasury dan dolar Amerika Serikat (AS) berdampak buruk buat emas. Penguatan dolar membuat harga emas semakin mahal saat dibeli karena ada konversi ke dolar AS sehingga pembeli pun menahan diri. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan imbal hasil US Treasury membuat emas kurang menarik.
Yield Treasury kembali naik setelah lelang obligasi 5 tahun oleh Departemen Keuangan AS senilai US$ 70 miliar menunjukkan permintaan yang rendah. Rasio bid-to-cover, yang merupakan ukuran permintaan yang diawasi dengan ketat, berada pada angka 2,3, di bawah rata-rata 10 lelang sebesar 2,45.
Kenaikan yield Treasury dan dolar AS juga terjadi karena investor mempertimbangkan keadaan perekonomian Negeri Paman Sam.
Investor juga mempertimbangkan bagaimana keadaan perekonomian dan menunggu data ekonomi baru yang dirilis sepanjang pekan ini yang dapat menjadi masukan bagi pengambilan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
“Kami mengalami sedikit pemulihan pada indeks dolar. Selain itu, para pembicara The Fed baru-baru ini bersikap cukup hawkish. Imbal hasil obligasi pemerintah terus meningkat. Jadi banyak hambatan yang membebani pasar,” kata Phillip Streible, kepala pasar sekaligus ahli strategi di Blue Line Futures, dikutip dari Reuters.
Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari mengatakan pada Selasa lalu bahwa The Fed harus menunggu kemajuan signifikan dalam inflasi sebelum memangkas suku bunga.
Para investor hingga kini sedang menantikan rilis data inflasi pengeluaran konsumsi pribadi (Personal Consumption Expenditure/PCE) AS periode April 2024, ukuran inflasi pilihan The Fed, yang akan dirilis pada Jumat besok untuk mendapatkan lebih banyak isyarat mengenai waktu dan skala penurunan suku bunga.
Pasar memperkirakan inflasi PCE AS kali ini kembali mengalami kenaikan sebesar 0,3% pada bulan lalu, berdasarkan survei Reuters, menjaga laju tahunan di 2,8%, dengan risiko ke sisi negatifnya.
Namun baru-baru ini, data ekonomi yang lebih kuat dan kekhawatiran baru mengenai potensi penurunan belanja konsumen telah mengurangi prospek suku bunga.
“Data PCE yang lebih tinggi dari perkiraan, yang meningkatkan prospek suku bunga AS yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, mungkin memaksa emas untuk menguji ulang angka psikologis US$ 2.300 untuk mencari dukungan,” kata Han Tan, kepala analis pasar di Exinity Group, dilansir dari Reuters.
CNBC INDONESIA RESEARCH
source