Oleh S i n d h u n a t a
– Di Argentina, bola adalah segalanya-galanya. Dengan lolos ke final Piala Dunia Qatar 2022, mereka di ambang menuju surga kebahagiaan atau terempas pada dunia kenistaan –
Cinta akan bola bagaikan cinta akan hidup. Seperti jatuh cinta, tak dapat orang yang mencintai bola hanya berhenti pada akalnya. Emosinya akan terkuras, dan ia makin tak dapat mengerti, mengapa bola terasa makin menuntut untuk mempertaruhkan hidupnya.
Jika hal ini benar, makin benarlah itu jika dikenakan pada rakyat Argentina. Lebih-lebih sekarang ketika Lionel Messi dan kawan-kawannya menatap final Piala Dunia 2022.
Bagi mereka, final seperti suatu ambang, di mana mereka boleh masuk menikmati surga kebahagiaannya, atau terempas kembali pada dunia kenistaan. Seakan tak berartilah segala prestasi jika di final mereka kalah. Cinta memang kejam bila ia gagal.
Memang, di Argentina, bola adalah segala-galanya. Tak cukuplah menyebut bola hanyalah sport atau permainan. Di sana bola mencakup kultur, pilihan hidup, emosi, dan tentu saja politik. Pantaslah, ketika Lionel Scaloni ditetapkan sebagai pelatih nasional, ada rekannya yang berkomentar, ”Sekarang, kamu lebih besar daripada presiden di negeri ini.”
Kontan Scaloni menolak, ”Tidak, saya hanya pelatih kesebelasan nasional Argentina.” Dan kepada para pemain Argentina ia berpesan, ”Apakah kita menang atau kita kalah, kita hanyalah pesepak bola, tidak lebih dan tidak kurang. Kata-kata kita tidak lebih bernilai daripada kata-kata setiap warga Argentin
Scaloni boleh menolak, tetapi di Argentina bola tetaplah bukan sekadar bola. Bola telah menjadi hasrat gairah rakyat Argentina. Jurnalis Alejandro Fabbri memaparkan, negara Argentina sudah berusia lebih dari 220 tahun, dan usia klub-klub sepak bola di sana mencapai 120 tahun. Karena itu, klub-klub sepak bola itu juga punya pengaruh sejarah kuat pada Argentina.
Sangatlah menguntungkan bagi politik jika bisa memeluk gairah itu. Sejarah mencatat, ketika Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978, sepak bola bisa digunakan untuk memalingkan rakyat dari represi dan kekerasan yang dijalankan rezim diktator militer saat itu.
Di final, Argentina berhasil menundukkan Belanda. Namun, dalam sejarah sepak bola, kemenangan mereka tercacat sebagai tidak terlalu bersih. Campur tangan politik terasa di dalamnya.
Di Argentina, sampai sekarang politik tidak terlepas dari bola. Anehnya, menurut Fabbri, saat politik bisa memecah belah, bola justru mempersatukannya. Pihak-pihak yang bersengketa dalam politik bisa saja sama-sama menjadi fans setia dari sebuah klub bola.
”Maka, di tribune bola terjadilah apa yang tidak terjadi dalam hidup sehari-hari: musuh bebuyutan secara politis saling berpelukan ketika klubnya mencetak gol. Pada dasarnya, mereka ternyata terikat oleh cinta pada jersei klub tersebut,” kata Fabbri.
Kalau jersei klub saja bisa demikian mengikat, apalagi jersei biru putih Argentina. Tidak hanya fans yang akan memenuhi Stadion Lusail, juga seluruh rakyat Argentina akan meluapkan cinta mereka akan bola di kaki Messi dan kawan-kawannya.
Sejak 1986, mereka hampa akan juara. Maka, mereka berharap setengah mati di Stadion Lusail malam ini, anak-anak Scaloni dapat mengisi kehampaan mereka dengan menjadi juara. Tidak sekadar juara dunia. Mereka bahkan mempunyai harapan lebih, inilah saat untuk mengabadikan ikon mereka, Lionel Messi.
Maka, di tribune bola terjadilah apa yang tidak terjadi dalam hidup sehari-hari: musuhbebuyutan secara politis saling berpelukan ketika klubnya mencetak gol.
Bagi Messi, memang Piala Dunia kali ini adalah kesempatan terakhir untuk memahkotai dirinya. Jika mahkota itu berhasil diraihnya, lengkaplah sudah alasan untuk menyejajarkan Messi dengan Pele, Johan Cruyff, Alfredo di Stefano, dan Diego Maradona.
”Mereka adalah legenda yang merevolusi bola. Tiap 20 tahun mereka muncul. Sebelum ini dia adalah Maradona. Sekarang Messi,” kata Jorge Valdano, veteran bola Argentina, yang juga pengamat bola.
Messi adalah anak kesayangan Argentina. Valdano mengaku dirinya adalah ”Madridista”, pencinta Madrid, tetapi toh ia berkata, ”Saya selalu berpikir, siapa tidak mencintai Messi, dia tidak mencintai bola.”
Koran di luar Argentina pun ikut mengelu-elukan Messi dan menyejajarkannya dengan Maradona. El Mundo Deportivo di Spanyol menyebut Messi dengan ”Maramessi”, sedangkan Gazzetta dello Sport di Italia menyebutnya ”Messidona”.
Sebutan apa saja terserah. Bagi Argentina, Messi dan Maradona sama besarnya. Mereka menyanyi, ”En Argentina nací, tierra de Diego y Lionel”, atau ”Di Argentina aku lahir, di tanah Diego dan Lionel.”
Dan malam nanti surga dan dunia bersatu: Maradona dan Messi. Messi akan bermain sepak bola, dan Maradona akan membantunya ”dari atas sana”.
Meminjam pemikiran Pierre Bourdieu yang dipakai filsuf Gunter Gebauer untuk analisis bolanya, malam nanti dengan bermain bola Argentina akan mengalami semacam ”transendensi sosial”. Maksudnya, segala harapan, cita-cita, idaman, doa, dan emosi sosial Argentina akan meliputi diri mereka, dan membuat mereka ”transendens” terhadap dirinya.
Karena transendensi sosial ini, mereka akan menjadi ”lebih” dari dirinya. Namun, transendensi macam ini juga bisa menjadi ujung malapetaka jika pada akhirnya mereka kalah. Karena transendensi itu, keterempasan akan terasa jauh lebih menyakitkan dan parah.
Belum ada jaminan bahwa Argentina tak akan terempas. Maklum, lawan mereka di final nanti adalah Prancis. Sampai ke final ini, Prancis telah memperlihatkan diri sebagai kesebelasan yang paling stabil. Mereka seperti mesin, yang berputar ajek, dan makin lama makin panas.
Mekanik mesin itu adalah Didier Deschamps, seorang realis. Ia bilang, Jerman, Spanyol, dan Brasil hebat dalam menyerang, tetapi mereka sudah pulang. Kenapa Perancis harus ikut-ikutan bermain menyerang kalau buktinya dengan pola bertahan mereka bisa sampai ke final?
Pendeknya, kini Prancis menemukan kembali ”roh mereka di tahun 2018” yang mengajarkan, tak usah mereka malu dengan permainan defensif dan pragmatisnya. Toh, dengan permainan itu, mereka bisa menjadi juara dunia 2018.
Selama ini orang ramai bicara Messi. Seakan lupa, mesin Prancis itu mempunyai lokomotif, bernama Kylian Mbappe. Jika tidak diwaspadai, dengan super-kecepatannya, Mbappe bisa melindas harapan Argentina.
Dan jangan lupa, selama 60 tahun ini belum ada juara bertahan bisa mempertahankan pialanya. Kalau jadi juara bertahan, Prancis akan membuat rekor juara dunia dua kali berturut-turut, seperti Brasil di tahun 1958 dan 1962.
Motivasi Prancis tak kalah besarnya dengan Argentina yang ingin menjadi juara ketiga kalinya. Pasti malam nanti adalah sebuah final saling mengempaskan yang sangat menegangkan.
———————————————–
Sumber Tulisan Kompas Minggu, 18 Desember 2022
“Penggemar Argentina” – Foto dari Harian Kompas – Foto Karya Gustavo Garello