Suara Unik Nan Eksklusif
“Bayangkan saat berada di tengah sound clash. Suasana memanas, lantai dansa semakin riuh, energi memuncak. Seorang selector menurunkan jarum ke piringan, dan—boom!—bass menggetarkan seluruh ruangan. Tapi ini bukan sembarang lagu. Vokalnya telah diubah, liriknya menyebut nama sang selector secara langsung, dan setiap dentuman beat terasa lebih tajam, lebih berat—diciptakan khusus untuk momen ini.”
Dalam kultur Jamaican Sound System, “dubplate” merujuk pada rekaman eksklusif atau lagu yang biasanya dibuat khusus untuk seorang DJ atau sound system tertentu. Dubplate adalah versi unik dari lagu, sering kali dengan modifikasi spesial–dari sang artis original, seperti perubahan dalam beat, vokal, atau penambahan lirik yang juga eksklusif. Keunikan ini membuat dubplate menjadi “senjata” penting dalam kompetisi “sound clash”, di mana sound system berlomba untuk mendominasi dengan lagu-lagu eksklusif mereka.
Namun, dubplate bukan sekadar alat kompetisi—ia juga mencerminkan status, inovasi, dan evolusi kultur musik yang terus berkembang. David Rodigan menggambarkan soundclash sebagai ajang bagi para kolektor musik yang begitu terobsesi hingga rela melakukan apa saja demi mendapatkan lagu eksklusif yang dipersonalisasi oleh sang artis.
“Jadi, ini seperti pertarungan tinju dalam musik, dan jika dilakukan dengan benar sesuai tradisinya, bisa menjadi sesuatu yang sangat seru, menyenangkan!”
Ya, sebuah ajang yang menyenangkan saat dilakukan dengan etos dari tradisi yang berakar.
Sosok legendaris ini juga merangkum bahwa soundclash adalah pertarungan musikal yang membutuhkan persiapan matang—mulai dari mengumpulkan dubplate, memesan studio, hingga membangun strategi dalam sesi “pertarungan.”
Muasal
Konsep dubplate pertama kali muncul pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an, seiring dengan berkembangnya kultur sound system di Jamaika. Pada masa itu, sound system (sebuah set/sistem speaker besar yang digunakan untuk pesta dan acara luar ruangan) menjadi pusat hiburan bagi banyak orang, terutama dari kelas pekerja yang tidak memiliki akses mudah ke rekaman terbaru.
Untuk membedakan diri dari kompetitor, DJ dan operator sound system mulai mencari musik eksklusif yang tidak tersedia di pasaran. Dubplate hadir sebagai solusi: rekaman khusus yang dibuat untuk satu sound system tertentu, sehingga mereka dapat memainkan versi lagu yang hanya bisa didengar di acara mereka. Awalnya, dubplate lebih banyak berupa versi “dub” (instrumental reggae dengan efek suara khas), yang kemudian berkembang menjadi format lagu utuh dengan shout-out dari artis, lirik baru, atau bahkan ‘dis track’ yang menyerang sound system lain dalam kompetisi “sound clash”.
Pada era 1960-an dan 1970-an, dubplate menjadi bagian penting dalam perkembangan reggae dan dancehall, dengan King Tubby sebagai pionir dalam eksplorasi teknik dub mixing. Sebagai teknisi studio, ia mulai membuat rekaman eksklusif untuk sound system tertentu, yang memberi mereka keunggulan dalam pertunjukan dan kompetisi. Selain King Tubby, Coxsone Dodd (Sir Coxsone’s Downbeat) juga berperan meletakan pondasi atas berkembangya rekaman spesial–terbatas ke dalam kultur sound system.
Salah satu selector berbudaya asal Manila, Red-I ikut menegaskan peran para pionir ini, ia merangkum:
“Tradisi dubplate berkembang melalui kultur sound system dan semakin berevolusi di dunia musik elektronik. Pada era 70-an, King Tubby di Jamaika menjadi salah satu tokoh kunci yang tidak hanya memproduksi dub tetapi juga membuat dubplate di studionya sendiri. Kemudian, di Inggris, Russ D alias The Disciples melanjutkan tradisi ini sejak awal 90-an, menciptakan dubplate yang masih dimainkan dalam berbagai sesi hingga hari ini.”
Adaptasi
Meskipun dubplate berasal dari Jamaika, pengaruhnya telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Di Inggris, komunitas diaspora Karibia—terutama mereka yang merupakan bagian dari atau tumbuh dalam Windrush Generation—berperan besar dalam memperkenalkan dan mengadaptasi dubplate ke dalam skena reggae, jungle, serta drum and bass. Sosok seperti David Rodigan, yang dikenal karena koleksi dubplate-nya yang luar biasa langka dan eksklusif, menjadi salah satu pionir di Inggris. Sementara itu, di Jepang, sound system seperti Mighty Crown mulai mengadopsi budaya dubplate, menjadikannya elemen penting dalam soundclash modern.
Seiring waktu, format tradisional dubplate—yang awalnya direkam di atas piringan acetate atau vinyl—mulai beradaptasi dengan teknologi digital. Kini, banyak sound system dan DJ menggunakan format WAV, MP3 untuk mendapatkan keunggulan dalam kompetisi lewat dubplate. Beberapa studio/agensi musik bahkan memungkinkan DJ membeli dubplate custom langsung dari artis tanpa harus mengunjungi studio fisik, meskipun sebagian penggemar sound system klasik masih menganggap dubplate analog lebih otentik. Namun, bagi sebagian pelaku musik, perdebatan ini bukanlah hal yang krusial. Seperti yang dikatakan Koddim Sound–Trio Dub Kampiun asal Jakarta yang kerap membuat lantai dansa begitu meriah dengan “senjata” koleksi dubplate mereka.
“Orang bebas berpendapat apa saja, tapi, esensi materi authentic dengan custom yang authentic dan eksklusif sangat tidak mempengaruhi autentisitas dari materi tersebut.”
Senada dengan Koddim, Diggy Dang (Reggae Rajahs)—salah satu pelaku kultur sound system berpengaruh dari India—mengungkapkan:
”Peralihan dari format vinyl ke digital telah membuat dubplate jauh lebih mudah didapat. Sekarang, semuanya bisa dikirim melalui email, sehingga tidak perlu lagi pergi ke Jamaika, mencari artis dan studio, serta melalui proses pressing vinyl”
Ruang Ekonomi
Sebagai “piranti” mewah dalam kompetisi sound system, dubplate berkembang menjadi sebuah sumber ekonomi dalam musik reggae dan dancehall. Artis dan produser sering kali mengenakan tarif tinggi untuk rekaman eksklusif ini, terutama bagi DJ atau sound system di luar Jamaika yang ingin memiliki track spesial untuk koleksi mereka.
Di Inggris, Jepang, dan Eropa, ada pasar khusus untuk dubplate, dengan DJ yang rela membayar mahal untuk mendapatkan versi eksklusif dari artis terkenal. Bahkan, beberapa studio di Jamaika sekarang menawarkan layanan rekaman dubplate sebagai salah satu sumber pendapatan utama mereka, menjadikan tradisi ini sebagai bagian dari industri global yang terus berkembang.
Identitas
Lebih dari sekedar medium, dubplate menjadi manifestasi dari inovasi serta sebuah hubungan dalam sound system. Koddim Sound kembali menekankan bahwa eksklusivitas dubplate adalah ciri khas yang membedakan setiap sound crew, menandai perjalanan panjang mereka dalam membangun identitas musik.
“Setiap dubplate memiliki kesan dan pesan tersendiri, setiap dubplate yang dimainkan Koddim Sound sangat spesial, karena itu adalah manifestasi dari selera kita bertiga, dan ditujukan untuk kita bertiga. Jadi setiap dubs yang kita mainkan adalah sebuah pengalaman eksklusif untuk crowd dalam menikmati musik yang hanya dapat mereka rasakan saat menikmati pertunjukan dari Koddim Sound”
Tidak jauh berbeda, Red-I kembali menambahkan bahwa peran dubplate melampaui sound clash;
“Banyak sound system di Eropa dan dunia elektronik menggunakannya untuk menciptakan pengalaman yang tidak bisa didengar di tempat lain, menegaskan pentingnya eksklusivitas dalam membangun koneksi dengan pendengar.”
Sementara itu, Diggy Dang menyoroti bahwa kreativitas dalam memproduksi dubplate—terlepas dari formatnya—adalah kunci dalam menjaga daya tarik dan nilainya.
“Makna dubplate tidak hanya terletak pada mediumnya, tetapi: juga dalam cara komunitas menggunakannya untuk memperkuat jaringan dan identitas mereka.”
Dubplate adalah salah satu akar budaya dari Jamaika yang terus tumbuh, membentuk identitas para pelaku seni global, sekaligus menjadi jembatan bagi ranting-ranting interkoneksi baru. Pada akhirnya, dubplate tidak hanya tentang medium—ia adalah pesan itu sendiri! Pesan tentang kebebasan berekspresi, yang hidup dalam pengalaman dinamis dan tak terlupakan. Saat diputar dengan sukacita di lantai dansa—menghibur jiwa-jiwa merdeka dengan gemuruh sound yang menggetarkan dan membakar—dubplate menjelma menjadi ritme yang menyatukan semua yang hadir.
(Kultur Spesial)
source