Pertama kali mendengar istilah Reggae Revival adalah saat saya mengulik karya Protoje feat. Romain Virgo. Lebih dari sekedar judul lagu dan style music, Reggae Revival ternyata merupakan sebuah gerakan kesadaran yang hendak membawa kembali semangat conscious reggae ke dalam musik kontemporer. Sebuah upaya untuk memugar marwah legacy yang didapuk oleh para pencetusnya pada era keemasan reggae tahun 1970 an.
Nah dalam menyambut bulan reggae Februari ini yang bertepatan dengan hari lahir dua punggawanya yaitu Bob Marley dan Dennis Brown, Kultur hendak merayakannya dengan berbagi kisah hal ihwal seputar sepak terjang Reggae Revival ini terlepas dari kontroversi sejak kemunculannya lima belas tahun yang lalu.
Secara khusus Kultur hendak menilik sejarah serta kerja budaya dan politik seperti apa yang dilakukan oleh penggalangan pengetahuan kolektif oleh gerakan Reggae Revival. Bagaimana pengaruh sejarah masa lalu terhadap produksi budaya di masa kini. Dari manakah asal muasal Revival tersebut? Dan seperti apa tujuan sosial mereka yang lebih luas?
Sejarah
Pasti banyak yang sudah pada tahu kalau kelompok seniman Reggae Revival ini identik dengan musisi seperti Chronixx, Protoje, Kabaka Pyramid, Jesse Royal dan Jah 9. Ternyata mereka semua ini terafiliasi dengan komunitas intelektual yang dikenal sebagai Manifesto Jamaika.
Membawa spirit layaknya ‘Harlem Renaissance’, komunitas ini bercikal dari awal tahun 2000-an dengan kolaborasi kelompok intelektual dan para pekerja industri kreatif termasuk manajer, humas, dan aktivis komunitas. Para pelopornya antara lain seperti Gavin ‘Dutty Bookman’ Hutchinson, Lesley-Anne Welsh, dan Kareece Lawrence yang kompak ingin melibatkan kaum muda di seluruh Kingston dalam seni dan budaya. Sebagian dari mereka merupakan teman sekolah yang kemudian bekerja di bisnis music setelah lulus. Welsh bekerja sebagai asisten keluarga Marley, Lawrence bekerja sebagai Event Organizer, dan Bookman sebagai pemandu wisata di Museum Bob Marley dan aktivis berbagai komunitas anak muda.
Istilah Reggae Revival sendiri pertama kali digunakan oleh Dutty Bookman pada 22 November, 2011 ketika merilis bukunya yang berjudul ‘Tried and True: Revelations of a Rebellious Youth. Penamaan ini katanya memiliki dua tujuan yaitu menyatukan sayap music dari gerakan komunitas Manifesto Jamaika di bawah sebuah nama yang menekankan hubungannya dengan sejarah panjang reggae dan menjadi batu penjuru dalam upaya membingkai narasi sendiri terkait visi dan misi Revival dengan cara yang tepat.
Bookman yang konon punya banyak pengalaman mistis dan spiritual mengatakan bahwa ada semacam vibrasi tak terlihat yang mempengaruhi dan bahkan mungkin mendikte apa yang dapat dilakukan manusia. Vibrasi itu ibarat pendulum moral yang gerakannya merupakan manifestasi dari ayunan menuju kebenaran. Ia mengatakan bahwa “Kami menyerang ketidakadilan melalui seni dan musik, itu adalah senjata budaya kami.”
Musik menjadi harapan terbaik untuk intervensi ini karena reputasi pulau Jamaika dalam ingatan budaya yang mengglobal. Harapan akan sekumpulan seniman tour yang berkeliling dunia bersama sebagai sebuah kolektif yang mewakili Jamaika dan Rastafari dalam apa yang disebut sebagai ‘Onesess’ atau keesaan.
Secara khusus Reggae Revival ingin membawa kembali semangat conscious reggae menjadi inspirasi bagi kaum muda kota dan penangkal pengaruh geng, kekerasan dan degradasi yang hadir dalam iklim politik dan subteks musik di dancehall yang tengah merajai Jamaika. Tentunya tanpa mendiskreditkan dancehall dan kontribusi artis-artis era awal antara lain seperti Sizzla Kalonji, Fantan Mojah dan I-Wayne yang dianggap sebagai gelombang pertama yang menampilkan conscious reggae dalam ruang-ruang yang lebih mirip dengan dancehall seperti kelompok Reggae Revival saat ini. Mempopulerkan kembali conscious reggae lewat tema-tema Rastafari, Livity dan Pan-Afrikanisme merupakan hasil dari momen global yang lebih luas dalam meningkatkan kesadaran individu maupun kolektif.
Berawal dari ‘Reasoning’ (diskusi dalam pertemuan Rastafari) pada tahun 2009 akhirnya kelompok ini terbentuk yang juga melibatkan Natalie Reid, dan Rita Marley serta Donisha Prendergast (putri dari Sharon Marley). Mereka bernaung di bawah bendera Manifesto Jamaika sebagai program non-profit atau NGO untuk mendidik, mengekspos, dan memberdayakan kaum muda Kingston melalui seni. Kegiatan mereka bersifat multidisiplin dan beragam seperti melakukan berbagai lokakarya, seminar, dan kegiatan pengobatan gratis, serta juga menyelenggarakan Festival Seni annual, ‘ART’ical Empowerment.” Menurut mereka praktik kreatif dan kerja industri kreatif dapat berfungsi sebagai agen pemberdayaan personal, komunal, dan nasional.
Kelompok ini menjalin kemitraan dengan organisasi Manifesto yang berbasis di Kanada dan juga lembaga pendanaan dari pemerintah Kanada, ‘Canada Fund for Local Initiatives’. Mereka juga menerima bantuan dari Komisi Pembangunan Sosial Jamaika (Jamaican Social Development Commission) dalam mensponsori festival pertama.
Festival ART’ical perdana diadakan pada tanggal 19 Agustus 2010 bertempat di toko buku Bookophilia di Kingston dan diliput oleh Jamaica Gleaner. Acara ini diawali dengan pertunjukan ritual tradisional ‘libation’ yang berakar dari budaya Igbo dan Akan di Afrika Barat, sebuah ritual warisan di mana praktik pertunjukkan menghubungkan para aktor dengan nenek moyang mereka dalam roh. Selanjutnya ada juga pembacaan puisi dan pertunjukan music dari seniman local.
Esprit de band
Selain itu para musisi juga berkumpul di ‘Jamnesia,’ sebuah camp selancar dan rendezvous seni di Kingston, untuk melakukan Jam session mingguan pada Sabtu malam. Pertunjukkan live musik di sini lebih menekankan rangkaian instrumen full band yang digunakan oleh para musisi yang terus berlanjut seiring pertumbuhan Revival.
Memainkan reggae secara live dengan full-band merupakan salah satu misi dari gerakan Revival untuk mengembalikan suara organik yang menjadi ciri khas dari roots reggae. Bagi mereka hal ini sangat bermakna secara politis dan budaya.
Terlepas dari tantangan finansial (jauh lebih mahal untuk melakukan tour sebagai sebuah band lengkap ketimbang aksi solo), band-band seperti Raging Fyah, No-Maddz, dan Pentateuch kini semakin popular. Penekanan pada kolektivitas ini meluas dalam perkembangan pengaturan industry music kontemporer di Jamaika sebagaimana yang dilihat oleh Chronixx sebagai salah satu musisi Revival. Bermain bersama menurutnya merupakan pendekatan yang lebih holistic.
Kata Chronixx: “Hal ini lebih dimulai dari konten dan pendekatan kami terhadap music. Kami mencoba membuat music yang holistic, bahkan di computer kami, anda tahu? Setiap kali kami tampil, kami ingin gitar asli, drum sungguhan, semuanya sungguhan.” ‘Semangat band’ (Esprit de band) ini juga dapat termanifestasi dalam berbagai cara yang menarik.
Kegiatan Revival lambat laun mulai mendapat perhatian dan liputan yang luas terutama melalui media ternama seperti Gleaner. Gema yang bersambut memotivasi berbagai agenda dan pemrograman yang gencar seperti membuat program radio mingguan di Kingston’s Roots FM, melakukan lebih banyak pertunjukkan, demonstrasi seni, vokasi pelatihan film dan acara berbasis seni lainnya yang mendukung narasi signifikansi music dan kreatif di Jamaika. Para anggotanya mengelola dan mempromosikan grup Revival, menggunakan satu sama lain untuk pemesanan (booking) dan kolaborasi. Saluran media sosialnya mempromosikan berbagai kegiatan seperti perkemahan, open-mic, yang menyediakan jaringan sosial dan kesempatan tampil bagi para musisi profesional dan pendatang baru. Mereka meyakini bahwa seni dapat menyatukan kaum muda Jamaika dengan membuka saluran komunikasi baru, menciptakan peluang untuk berbagi dan berkolaborasi serta memperkuat jaringan dan ikatan komunitas.
Kebersamaan merupakan hal yang penting bagi komunitas Manifesto dan Reggae Revival karena mereka percaya bahwa kesuksesan individu tidak akan mengarah pada peningkatan budaya dan kolektivitas yang mereka cita-citakan.
Kemandirian
Dalam kaitannya dengan industri musik, Manifesto Jamaika juga membuat Konferensi Musik Jamaika yang membahas berbagai tema yang dekat dengan para musisi seperti kesiapan pasar, alat manajemen hak cipta, dan strategi industri lainnya. Pengacara, professional industry dan artis terkenal memberikan diskusi panel, lokakarya untuk manajemen dan artis reggae yang masih dalam tahap awal karir, dan juga penggemar di berbagai lokasi di seluruh Kingston termasuk di kampus University of the West Indies dan JAMPRO, sebuah Lembaga pemerintah yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan bisnis.
Para musisi popular Reggae Revival banyak yang sudah sukses seperti Protoje, Kabaka Pyramid, dan Chronixx, namun tim Manifesto terus mengkampanyekan kemandirian untuk membuat label dan perangkat promosi mereka sendiri melalui jaringan Manifesto. Kemandirian adalah inti dari gerakan ini, kata Dutty Bookman.
Dia menyebutkan banyak musisi dari generasi sebelumnya yang terjebak dalam kemiskinan dan menghubungkan perjuangan mereka dengan penderitaan warga kulit hitam yang dirugikan oleh organisasi kapitalis global.
Luka-luka kolonialisme dan modernitas sangat menandai kondisi kehidupan banyak orang Jamaika. Komentar Bookman menggemakan keprihatinan yang lahir dari berabad-abad beroperasi dalam sistem yang menindas dan keyakinan di antara para anggota Manifesto Jamaika dan Reggae Revival bahwa mereka harus menjadi penjaga masa depan music Jamaika untuk menghindari pelecehan lebih lanjut.
Ketika sumber daya alam lainnya di tanah mereka dirampas, budaya muncul sebagai tempat di mana self-determinasi secara ideologis dimulai.
Manifesto Jamaika adalah tentang pendidikan, eksposur, dan memberdayakan kaum muda dan memberitahu mereka bahwa seni adalah sebuah pilihan. Daripada membuat banyak anak muda terjerumus ke dunia criminal, mereka tahu bahwa mereka punya pilihan lain.
Manifesto Jamaika dan sayap musiknya Reggae Revival membayangkan sebuah masyarakat yang mengakui, menghormati dan menghargai kontribusi industri kreatif.
Pentingnya industri seni dan budaya dalam masyarakat modern terletak pada tiga hal yang saling berkaitan yaitu kemampuan mereka untuk membuat dan mengedarkan produk yang mempengaruhi pengetahuan, pemahaman; dan peran mereka sebagai sistem untuk mengelola kreativitas dan pengetahuan; serta efek mereka sebagai agen perubahan ekonomi, sosial dan budaya.
(INSERT PHOTO)
One Love
Apa output kreativitas Reggae Revival itu sendiri?
Chronixx berkata dalam sebuah wawancara bahwa “semua music yang telah kami rilis, saya melihat semua lagu itu sebagai satu lagu. Sebuah lagu progresif. Hanya syair yang berbeda, baris yang berbeda. Lagu-lagu saya hanyalah bait-bait dalam lagu yang lebih besar itu.”
Moto nasional Jamaika ‘Out of many, One People’ juga berlaku dalam music dan budaya apa pun. Musikolog Christopher Small menulis dalam bukunya ‘Musicking: The Meanings of Performing and Listening’: “Bermusik berarti mengambil bagian, dalam kapasitas apapun, dalam sebuah pertunjukkan music, baik dengan tampil, mendengarkan, berlatih, menyediakan materi untuk pertunjukkan (menggubah) atau bahkan menari.”
Apa yang ditunjukkan oleh karya-karya Reggae Revival dan hubungannya dengan budaya Jamaika menunjukkan bahwa konteks budaya itu sendiri berperan dalam bagian menyediakan materi (providing material). Sejarah, agama, cerita rakyat, dan konteks semuanya memainkan peran dalam music dan budaya Jamaika. Hal ini mengikuti konsep Rastafari tentang Livity, atau kesatuan semua makhluk hidup seperti lagu “One Love” oleh Bob Marley. Lagu ini menjadi simbol politik Rastafari yang menjadi contoh bagi banyak artis Revival dalam menyampaikan pesan-pesan mereka.
Kuno-kini: “Come Ketch di Riddim”
Referensi intertekstual dan interkontekstual sering terjadi pada musik-musik Jamaika terutama melalui penggunaan riddim atau track music instrumental.
Riddim adalah produksi budaya kontekstual yang menarik karena komponen berbasis kelas dalam penggunaannya. Riddim membantu banyak penyanyi miskin di awal karier yang tidak mampu memiliki band sendiri. Bernyanyi di atas riddim (singing over riddim) memberi mereka hubungan semacam itu dengan pengalaman music kolektif. Signifikansi riddim berasal dari fakta bahwa riddim dapat digunakan bergantian dengan penyanyi baru dan lirik baru di atas riddim yang telah direkam beberapa tahun atau decade sebelumnya.
Lantas apa yang baru? Menurut Chronixx ia tidak mengagungkan kebaruan (newness) atau apa yang orang sebut sebagai originalitas: “Saya tidak mengagungkan hal semacam itu. Saya mengagungkan kontinuitas.” Menurutnya kemajuan (progress) dan kontinuitas (continuity) tidak berarti harus baru. Apa yang ditunjukkan oleh riddim adalah bahwa apa yang baru seringkali juga merupakan sesuatu yang lama dalam konteks Jamaika.
Banyak riddim yang direkam secara instrumental dengan band-band studio di tempat-tempat seperti studio One, studio paling terkenal di Jamaika selama era keemasan reggae.
Singing over riddim juga kerap kali dilakukan oleh para artis Revival. ‘Steamers a Bubble’ dari Jah9 menggunakan riddim Roots Radics Apartment (1982). ‘Resist Not Evil’ dari Protoje menggunakan riddim Militancy. Chronixx ‘News Carrying Dread’ menggunakan riddim Tenement Yard. Hubungan kontekstual di sini Chronixx hadir mengambil riddim Tenement Yard dan membawa kritiknya ke masa kini. Riddim berfungsi sebagai metafora simbolis untuk kritik kontemporer terhadap teknologi dan dampak buruknya terhadap pengalaman komunal. Chronixx tidak hanya menggunakan riddim lama tetapi ia juga membawa serta para personil Inner Circle dalam penggarapan video klip. Musik Video ini menjadi semacam ‘meta performance’ dari apa yang dilakukan oleh riddim. Teks-teks Reggae Revival tidak hanya hadir melalui lagu-lagunya saja tetapi juga lewat seni visual dan upaya kreatif lainnya yang beredar secara global melalui teknologi internet dan media sosial. Menyatukan audio dan visual, masa lalu dan masa kini dapat hidup berdampingan dalam konteks budaya music Jamaika.
Revival mengaburkan temporalitas dengan lebih banyak cara dari sekedar riddim. Sebagai contoh album Protoje ‘Ancient Future’ (2015), melanjutkan upaya membawa masa lalu ke masa kini. Dalam wawancara, Protoje mengatakan bahwa ia ingin membawa reggae tahun 1970 an ke dalam musiknya, menggunakan karyanya untuk menceritakan sejarah alternatif Jamaika. “Ancient Future adalah sebuah upaya untuk menjembatani kesenjangan antara masa lalu dan masa kini, namun juga untuk mendorong segala sesuatunya menjadi lebih maju.”
Karya Protoje mengacu pada pengetahuan subaltern dalam bentuk narasi sejarah yang digalang untuk memberikan dampak pada konteks masa kini.
Dengan membawa masa lalu yang bersejarah ke masa kini, ia meneruskan visi ‘ancient future’ yang mengganggu totalitas kemajuan modern yang diterima begitu saja. Sebagai salah satu wajah paling terkenal dari Reggae Revival, ia telah menjadi contoh bagi musisi lain untuk diikuti seiring berkembangnya gerakan Revival tersebut.
Tantangan dan Kontemplasi
Upaya Manifesto Jamaika dan Reggae Revival tentu saja tidak berjalan mulus dan banyak mendapat aral rintangan. Dalam ‘Babylon system’ para seniman dan intelektual ini akan terus menghadapi tantangan dalam mewujudkan visi dan misi mereka mengangkat derajat masyarakat Jamaika dan pekerja industri kreatif lainnya yang kurang beruntung.
Mereka tidak menampik kondisi kolonial dan pascakolonial yang dihadapi oleh para pekerja kreatif di Jamaika yang berarti mereka memiliki tantangan-tantangan tertentu.
Sejarah kolonial yang panjang di mana masalah di masa lalu adalah masalah masa kini. Masih terlalu sulit dalam industri musik untuk mendapatkan keuntungan dari produksi budaya. Masalah penyesuaian struktural yang membuat kaum miskin kota di Jamaika menghadapi rintangan yang panjang untuk maju dan warisan supremasi kulit putih masih terus membekas.
Luka masa lalu ini membuat banyak orang terperangkap dalam kubangan duka yang berlarut dan menjadi penghambat langkah menuju kebebasan yang sejati. Mental budak (mental slavery) telah menjadi symptom orang-orang di wilayah pasca kolonial.
Dalam sebuah wawancara di I Never Knew TV pada akhir tahun 2024, Dutty Bookman mengatakan bahwa tantangan dari gerakan ini adalah Bad Mind syndrome dan scarcity mindset (iri hati dan perasaan tersaingi) menjadi momok di Jamaika. Hal ini membuat orang susah untuk saling bekerja sama karena menaruh rasa curiga yang berlebihan. Bookman mengatakannya sebagai penyakit mental yang mewabah di Jamaika. Kegigihan cita-cita Manifesto Jamaika dan Reggae Revival akan kolektivitas bisa jadi merupakan symptom melankolia karena hal inilah sebenarnya yang menjadi kekurangan ‘lack’ di Jamaika. Kondisi ini kemudian menjadi mesin hasrat (desire) yang terus memacu kreativitas kelompok ini untuk memenuhi kekurangan (lack) itu.
Semoga apa yang dilakukan oleh Manifesto Jamaika dan Reggae Revival ini menginspirasi kita semua untuk turut “bermusik,” mengambil bagian dalam kapasitas apapun untuk merespon ajakan Bob Marley menyanyikan lagu ‘Redemption Song’: “Won’t you help to sing, another song of freedom.”
Selamat merayakan Bulan Reggae 2025. “Come Ketch di Riddim!”
[Yedijah]
source